“in
war, truth is the first casualty” – Aeschylus
Humanity. Film yang memiliki unsur kemanusiaan selalu penuh
dengan ambiguitas dan tidak pernah memberikan jawaban yang pasti kepada
penonton. Begitu pula dengan film terbaru garapan Gavin Hood, Eye In The Sky. “untuk
menyelamatkan banyak nyawa, kemanusiaan harus dikesampingkan”. Kira-kira seperti itu pesan yang saya
dapatkan setelah menonton film ini. Dan tentunya, penonton sendiri yang akan menilai
pernyataan tersebut benar atau tidak.
Kolonel Katherine Powell (Helen Mirren) mendapatkan
informasi kalau para petinggi kelompok terorrist Al-shabaab akan mengadakan
pertemuan di sebuah kota di Kenya. Operasi penangkapan pun akan segera
dilakukan. Steve Watts (Aaron Paul) dan Carrie Gershon (Phoebe Fox) ditugaskan
untuk memata-matai para terorris tersebut dengan menggunakan reaper drone.
Letnan Jenderal Frank Benson (Alan Rickman) beserta beberapa orang dari
pemerintahan Inggris juga ikut menyaksikan operasi ini. Masalah menjadi semakin
rumit saat fakta mengejutkan ditemukan dan membuat operasi penangkapan tidak
berjalan sesuai seperti yang diharapkan.
Paruh awal film ini memang berjalan lambat (agak
membosankan). Penonton musti bersabar untuk merasakan tensi di film ini. Tapi
semakin lama, film ini seolah melaju semakin kencang. Dengan masalah yang
sangat sederhana, “strike or not”, Gavin Hood berhasil menciptakan ketegangan
yang secara perlahan meningkat hingga mencapai klimaks yang benar-benar
menegangkan dan sangat emosional.
film ini tentunya tak lepas dari unsur politik. Film
yang mengandung unsur politik umumnya membosankan karena sulit untuk diikuti
dan berbelit-belit. Tapi, tidak untuk film ini, unsur politik dalam film ini
disusun secara rapih dan sangat enjoyable. Penonton pun jadi tahu apa
sebenarnya yang membuat “strike or not” ini menjadi sangat dipermasalahkan.
Teknologi drone yang menjadi alat utama di film ini
sukses menjadi highlight. Adegan yang memperlihatkan para agen mengintai
terorrist menggunakan reaper drone ataupun dengan drone yang berbentuk binatang
menjadi adegan yang sangat menarik dan sangat memanjakan mata penonton.
Performa terbaik ditunjukan oleh Helen Mirren yang
memerankan Kolonel Katherine Powell. sosoknya begitu tegas dan sangat ambisius.
Saya rasanya dapat merasakan emosi dari setiap kata yang ia lontarkan. Dan
tentunya mendiang Alan Rickman juga berperan sangat baik di film terakhirnya
ini. Sosoknya sebagai Letnan Jenderal Frank mungkin tampak dingin. Tapi di sisi
lain Frank adalah seorang ayah yang mencintai anaknya.
Saya salut bagaimana Gavin Hood bisa memanfaatkan hal
yang sangat sederhana menjadi hal yang sangat problematis dan menarik. Selain
“strike or not”, adegan klimaks di film ini juga terbilang sederhana tapi sangat
menegangkan dan emosional. Tidak perlu ledakan besar-besaran dan scoring yang
megah, adegan klimaks di film ini sukses memacu jantung sekaligus mengiris hati
penonton. Film ini juga ditutup dengan “kesunyian”. Sang Sutradara seolah-olah
memberikan waktu bagi penonton untuk berpikir dan mencerna apa yang baru saja
mereka saksikan.
Final words, terlepas dari paruh awal film yang
berajalan lambat, film ini perlahan tapi pasti menciptakan keteganan yang
semakin meningkat. Naskah yang ditulis oleh Guy Hibbert ini begitu rapih yang
membuat penonton tidak akan kebingungan dengan unsur politik yang membumbui
film ini. Sebuah sajian thriller yang tidak hanya menegangkan tapi juga
mengiris hati penonton.

0 komentar:
Posting Komentar